Selasa, 22 April 2014

cerpen



REGINA

Tubuhnya tinggi, kurus, rentah dan rapuh. Dengan semangat yang tersisa ia mencoba meraih lembaran daun lontar diantara pepohonan yang tumbuh di gersangnya bukit  Teri. Dengan tertatih-tatih ia mecoba mendapat lembaran daun lontar muda yang berada di pucuk pohon lontar itu. Dipotongnya daun lontar itu dengan parang tumpulnya satu persatu hingga semuanya terjatuh ke tanah.
Terik matahari  menyengat kulit tua dan keriput itu, keringat bercucuran membasahi  sekujur tubuhnya yang tak berpakaian, hanya lipatan kain tenun menutupi pinggang  hingga lututnya. Tak ada yang bisa menghalangi  ambisinya untuk mendapat serpihan daun lontar itu. Laki – laki tua dan keriput adalah Antonius Denga Lilo. Aku biasa memangilnya Opa Anto .Pria yang dulunya tampan, kekar dan penuh dengan kharismatik itu kini sudah tua, rentah dan beruban.
Kemanapun ia pergi, opa Anto selalu membawa Sasando tuanya. Katanya, Sasando itu merupakan Sasando  pertama yang dibuatnya, ia tak akan pensiunkan Sasando itu, Sasando hanya  perlu diperbaiki apabila daun lontar itu tak menghasilkan resonansi yang indah dan tepat. Selebihnya ia tidak akan melepaskan Sasando itu apapun alasan. Ia membiarkan Sasando itu menyatu dengan dirinya, diikat Sasando itu pada seutas tali dan dililitkan pada sisi kiri pingang kurusnya.
Dengan jeli ia memilah mana serpihan daun lontar yang masih muda dan yang tua. 20 Tahun sudah ia menjadi seorang maestro sasando di desa  Rote ini. Garis keriput di wajahnya seolah menceritakan lika-liku hidupnya, kakinya yang tak beralas menceritakan banyaknya batu karang yang telah ia injak dan pernah melukainya serta tatapanya seolah mengatakan bahwa ada banyak kenangan yang ia alami selama menjadi  seorang maestro Sasando di desa kami.
Di desaku hanya opa Anto yang bisa membuat Sasando. Dari membuat kerangka hingga menentukan nada untuk tiap senar hingga menghasilkan  nada indah. Tak ada lagi maestro Sasando yang tersisa di desa kami, kecuali opa Anto. Bahkan tak ada satupun  pemuda di generasiku yang bisa memetik Sasando saat ini. Karena mereka lebih memilih memetik gitar ketimbang Sasando yang tampak kuno dan tidak modern.
 “ Opa kenapa opa tidak istirahat sejenak?, ini terlalu panas untuk bekerja”. Kataku sambil mencari  tempat bernaung dibawah pohon gamal yang berada di sebelah pohon lontar itu. Di bukit yang tandus dan gersang ini  tak ada yang bisa tumbuh subur kecuali semak belukar, pohon gamal dan pohon lontar. Tanahnya pun tandus, banyak batu karang yang memenuhi bukit Teri ini.  “ Istrahat saja dulu anak, opa sudah biasa jemur di matahari seperti ini”. Sungguh luar biasa opa Anto ini, tubuh tuanya bisa menangkis panasnya terik matahari sedangkan aku yang masih muda dan belia ini  tak bisa menahan panas terik matahari yang menyengat bagaikan sengatan lebah.
Semuanya telah ia kumpulkan, ia telah memilah mana yang muda dan yang tua. Yang tua biasanya tak ia gunakan untuk mebuat sasando, ia gunakan itu untuk menganyam tikar. Daun lontar yang muda diubahnya menjadi sebuah anyaman yang nanti akan  digunakan sebagai wadah penghasil resonansi dari senar dan bambu yang di petik pada Sasando.
“ Anak, mari kita berteduh di  pondok saja, disini terlalu panas ”. Sembari menyarungkan parangnya yang kemudian diikat disisi kanan pinggangnya, bersampingan dengan Sasando tua di sisi kiri pinggangnya. Pondok itu sederhana, beralaskan anyaman bambu dan beratap jerami, cukup teduh untuk beristirahat bagi warga yang kebetulan melintas ke kebun atau selepas dari kebun.  Diletakan tumpukan lontar itu diatas jerami, ia mulai memilah-milah daun lonotar tersebut.
Tangan tuanya mulai menganyam  daun lontar meskipun tanganya kasar dan berurat, tapi ia menganyam dan membuat kerangka sasando ini dengan penuh kelembutan. Dibentuknya pola menyerupai sebuah perahu kecil dengan  lembut bagaikan harmoni sasando yang biasa ia mainkan.
“ Harus penuh kelembutan ketika kau ingin menghasilkan sasando yang baik, kelembutan itu bukan hanya milik manusia tapi juga kelembutan itu milik sasando ini!” Tuturnya dengan penuh ketegasan.
Aku seolah terperangah oleh kelembutan dan keterampilan opa Anto membuat kerangka sasando dari daun lontar ini.
 “ Apa yang membuat opa sangat mencintai sasando ini,?” tanyaku dengan penasaran sambil memandang wajah keriputnya. Sontak raut wajahnya berubah, wajahnya yang serius berubah menjadi wajah yang penuh dengan tatapan kosong. Lama ia berdiam, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya helaan napas yang ia hembuskan. Dalam dan panjang.
********
Aku terperangah pada sosok tua ini. “Ada apa dengan perkataanku tadi, haruskah aku mengulangi pertanyaanku tadi”, Bisiku dalam hati. Hendak  bibir ku mengucap ulang kata-kataku tadi, tapi ia lebih dahulu berkata, “ Kau tak perlu mengulang kata-katamu anak, opa hanya terjebak dengan masa lalu opa“. Dia seolah-olah membaca pikiran ku.  “ Memangnya ada apa dengan masa lalu opa?’’ tanyaku.  Sontak ia pun berhenti untuk menganyam kerangka sasando itu. Ia mencoba memanggil kembali memori yang ada  dalam otaknya, ia menutup matanya sambil mengkerutkan dahinya.
“Ah, anak Sasando yang biasa aku mainkan itu, keindahan nada yang kau dengarkan itu,  keharmonisan yang kau rasakan, ketenangan yang kau dapatkan ketika kau mendengarkan petikan sasando  adalah hasil cinta yang aku dapatkan dari Regina”. Terangnya sambil berangan-angan mengingat kenangan yang ada dalam memori otaknya. Aku bingung,  Siapa gerangan Regina yang disebutkan lelaki tua ini. Sebelum aku berpikir lebih jauh, akupun bertanya siapa sosok Regina di mata Opa Anto. “ Siapa Regina itu opa?”.
“ Dia adalah wanita dan cinta.  Ketika aku muda seperti kau anaku, aku bertemu seorang gadis cantik, ia datang dengan sejuta keindahan dan keistimewaan yang tak pernah aku jumpai sebelumnya dengan gadis-gadis di desa ini. Jujur pertama kali aku bahkan takut menatap wajahnya yang cantik, aku takut bukan karena ia seperti hantu, bukan karena aku takut ia seperti monster tapi aku takut apakah aku layak memandang wajah cantiknya itu.  Banyak yang mengaguminya, tapi aku merasa aku satu-satunya lelaki yang paling beruntung mendapat cintanya.  Rambutnya panjang dan keriting  terurai lembut,  matanya bulat, bening dan indah, seindah tenunan Rote. Hidungnya mancung setinggi bukit Teri  ini, dan suaranya seperti bunyi petikan pada senar sasando ini”. Opa Anto seolah memilki potret masa lalu yang indah dan ia coba lukiskan masa lalu itu sedetail mingkin. Di pondok tua itu aku menyaksikan kisah seorang maestro Sasando yang membuat ia tetap hidup dengan masa lalunya yang tersimpan rapi di lubuk hatinya yang paling dalam..
“Bermain sasando pada jaman dulu merupakan sesuatu yang berharga  bagi anak muda seusia kau. Kau bisa mendapatkan hati seorang wanita, kau bisa merasakan keharmonisan antara cinta dan keindahan’’.  Tuturnya sambil menarik  napas mencoba menerawang masa lalunya.

 ‘’ Tak ada satupun dari keluarga ku yang tau dan pandai bermain sasando. Aku pun terlahir sebagai orang yang hanya menikmati indahnya alunan bunyi sasando,  hanya mendengar saja cukup menyenangkan hatiku. Tapi ketika pertama kali aku bertemu Regina semuanya berubah. Aku merasakan keindahan dan keistimewaan yang luar biasa dalam dirinya. Hingga  aku ingin mengungkapkan keindahan dan keistimewaan Regina. Dan  aku sadar bahwa melalui Sasando ini, nada dan bunyi yang akan aku mainkan bisa mengungkapkan keindahan dan keistmewaan Regina, dan aku  berjanji  padanya bahwa  suatu saat  jika aku bisa memainkan Sasando ini , aku akan memainkan sebuah lagu  untuknya’’.
Suasana hening di pondok itu seolah-olah membawa aku terbang ke masa lalu opa Anto.
  Aku pun mulai berlatih bermain sasando, tak seorang pun yang mengajariku, tak ada  juga yang menuntunku,  rasa cintaku pada Regina lah yang memuat aku terus berlatih, Pernah anak, aku putus asa. Ah aku menyerah! Tapi ketika aku teringat akan Regina aku bangkit kembali, anak! Aku  teringat akan janjiku padanya, Ia  tahu akan niat dan ambisiku, ia terus medukung aku. 
Aku belajar mendengarkan  dan merasakan denyut jantungku dan aku bisa menghasilkan sebuah nada dari senar ini, kemudian aku belajar mendengarkan dan merasakan suara  alam  dan aku berhasil menghasilkan alunan irama, hingga aku belajar untuk mendengarkan suara hati dan  merasakan getaran cinta ku pada Regina , aku berhasil menjadi seorang pemain Sasando”.
Ia  diam sejenak,  matanya  nampak berkaca-kaca sepertinya momen itu sangat berharga baginya.
“Opa berhasil memainkan lagu untuknya?”. Tanyaku sambil tersenyum membayangkan bagaimana romantisnya suasana yang akan diceritakan oleh opa Anto nanti.
“Hmm, sudah aku persiapkan semuanya, aku berjanji bertemu dia di bukit Teri ini ketika matahari hendak tenggelam. Aku sendiri yang membuat  kerangka hingga menentukan nada pada tiap senar-senar  Sasando ini,  aku bekerja dari hatiku sehingga aku membalut semuanya dengan kasih sayang dan rasa cinta.
Aku yakin dengan segenap jiwaku, Regina akan menepati janjinya untuk menjumpaiku. Sekali lagi kucoba meyakinkan hatiku. Ku coba memetik seutas tali senar pada sasando ini, sontak aku teringat akan senyum Reina, nada pada senar ini mengingatkanku akan manisnya senyumnya. Senyum yang dihiasi lesungan pipi dan keikhlasan Regina untuk tersenyum.  Ada keindahan yang keluar dari dalam senyumnya.
Tiap hari aku datang ke tempat itu untuk menemui dia dan untuk kesekian kalinya, ia tak datang menemuiku.  Regina, aku rindu padamu, ingin hatiku ku memainkan sasando ini untukmu tapi percuma kau tak bisa merasakan indahnya petikan yang aku ciptakan, ingin ku menyanyikan lagu cinta untukmu tapi percuma kau tak mungkin mendengarkan.
Hari berlalu dan musim berlalu sayang seribu sayang, ia tak datang menemuiku”.
“Kemana ia pergi opa?”, Tanyaku sambil bertopang dagu, mecoba menggali lebih dalam cerita opa Anto.
“ Ia bukan berasal dari tempat ini. Ia kembali ke tempat dimana ia berasal”.
“ Dimana tempat itu opa?, mungkin kita bisa mencari dia, mungkin pula kau akan bertemu dengan dia  dan kau bisa memainkan lagu ini untuknya, benarkan opa?”. Aku berusaha meyakinkan dia untuk menemukan kembali Regina-nya yang telah pergi.
“Ah percuma anak jika kau mencari dia, kau tak akan menemukan dia”. Ia seolah-olah telah merelakan kepergian Regina yang pernah ia cintai.
“ Apakah  Regina sudah meninggal”? Tanyaku penasaran.
“ Dia tak meninggal dunia, anaku. Dia ada disini bersama angin, bersama detak jantungku dan dia akan mendengarkan aku ketika aku memainkan Sasando ini untuknya”.
 Aku heran bagaimana mungkin ia akan hadir disini, sedangkan disini  hanya kami berdua, apakah ia akan datang dengan mesin waktu ketika opa Anto memainkan Sasando ini?

Matahari mulai meredupkan cahayanya, ku lihat opa Anto mulai mengambil Sasandonya, dengan mata tertutup ia merasakan desiran angin yang datang menyapanya. Ia mulai merapikan senarnya, meletakan jarinya diantara senar-senar itu, jarinya menari-nari diatas senar itu dan  ia bernyanyi ;
 “ Ku temukan cintaku di tanah ini
Tanah yang damai penuh dengan cinta
Sekuntum mawar ku petik, ku semak dihati
Dan aku senandungkan kidung kerinduanku
Na…he…ya…”

Aku merasakan kehadiran Regina melalui alunan nada yang dimainkan opa Anto, aku merasakan ia berada di depanku. Benar kata opa Anto, ia cantik dan indah, ia mendekat dan makin mendekat, ia kemudian berbisik lembut di telingaku. “ Aku adalah kecantikan dan keindahan yang  kau dengar dan kau rasakan dan aku adalah cinta yang menuntun dia untuk menghasilkan irama yang indah dari Sasando ini”.

Malang,04/03/2014