REGINA
Tubuhnya tinggi, kurus, rentah dan rapuh.
Dengan semangat yang tersisa ia mencoba meraih lembaran daun lontar diantara
pepohonan yang tumbuh di gersangnya bukit Teri. Dengan tertatih-tatih ia mecoba mendapat
lembaran daun lontar muda yang berada di pucuk pohon lontar itu. Dipotongnya
daun lontar itu dengan parang tumpulnya satu persatu hingga semuanya terjatuh
ke tanah.
Terik matahari menyengat kulit tua dan keriput itu, keringat
bercucuran membasahi sekujur tubuhnya
yang tak berpakaian, hanya lipatan kain tenun menutupi pinggang hingga lututnya. Tak ada yang bisa
menghalangi ambisinya untuk mendapat
serpihan daun lontar itu. Laki – laki tua dan keriput adalah Antonius Denga
Lilo. Aku biasa memangilnya Opa Anto .Pria yang dulunya tampan, kekar dan penuh
dengan kharismatik itu kini sudah tua, rentah dan beruban.
Kemanapun ia pergi, opa Anto selalu membawa
Sasando tuanya. Katanya, Sasando itu merupakan Sasando pertama yang dibuatnya, ia tak akan
pensiunkan Sasando itu, Sasando hanya
perlu diperbaiki apabila daun lontar itu tak menghasilkan resonansi yang
indah dan tepat. Selebihnya ia tidak akan melepaskan Sasando itu apapun alasan.
Ia membiarkan Sasando itu menyatu dengan dirinya, diikat Sasando itu pada
seutas tali dan dililitkan pada sisi kiri pingang kurusnya.
Dengan jeli ia memilah mana serpihan daun
lontar yang masih muda dan yang tua. 20 Tahun sudah ia menjadi seorang maestro
sasando di desa Rote ini. Garis keriput
di wajahnya seolah menceritakan lika-liku hidupnya, kakinya yang tak beralas
menceritakan banyaknya batu karang yang telah ia injak dan pernah melukainya
serta tatapanya seolah mengatakan bahwa ada banyak kenangan yang ia alami
selama menjadi seorang maestro Sasando
di desa kami.
Di desaku hanya opa Anto yang bisa membuat
Sasando. Dari membuat kerangka hingga menentukan nada untuk tiap senar hingga menghasilkan
nada indah. Tak ada lagi maestro Sasando
yang tersisa di desa kami, kecuali opa Anto. Bahkan tak ada satupun pemuda di generasiku yang bisa memetik
Sasando saat ini. Karena mereka lebih memilih memetik gitar ketimbang Sasando
yang tampak kuno dan tidak modern.
“ Opa
kenapa opa tidak istirahat sejenak?, ini terlalu panas untuk bekerja”. Kataku
sambil mencari tempat bernaung dibawah
pohon gamal yang berada di sebelah pohon lontar itu. Di bukit yang tandus dan
gersang ini tak ada yang bisa tumbuh
subur kecuali semak belukar, pohon gamal dan pohon lontar. Tanahnya pun tandus,
banyak batu karang yang memenuhi bukit Teri ini. “ Istrahat saja dulu anak, opa sudah biasa
jemur di matahari seperti ini”. Sungguh luar biasa opa Anto ini, tubuh tuanya
bisa menangkis panasnya terik matahari sedangkan aku yang masih muda dan belia
ini tak bisa menahan panas terik
matahari yang menyengat bagaikan sengatan lebah.
Semuanya telah ia kumpulkan, ia telah memilah
mana yang muda dan yang tua. Yang tua biasanya tak ia gunakan untuk mebuat
sasando, ia gunakan itu untuk menganyam tikar. Daun lontar yang muda diubahnya
menjadi sebuah anyaman yang nanti akan
digunakan sebagai wadah penghasil resonansi dari senar dan bambu yang di
petik pada Sasando.
“ Anak, mari kita berteduh di pondok saja, disini terlalu panas ”. Sembari
menyarungkan parangnya yang kemudian diikat disisi kanan pinggangnya,
bersampingan dengan Sasando tua di sisi kiri pinggangnya. Pondok itu sederhana,
beralaskan anyaman bambu dan beratap jerami, cukup teduh untuk beristirahat bagi
warga yang kebetulan melintas ke kebun atau selepas dari kebun. Diletakan tumpukan lontar itu diatas jerami,
ia mulai memilah-milah daun lonotar tersebut.
Tangan tuanya mulai menganyam daun lontar meskipun tanganya kasar dan
berurat, tapi ia menganyam dan membuat kerangka sasando ini dengan penuh kelembutan.
Dibentuknya pola menyerupai sebuah perahu kecil dengan lembut bagaikan harmoni sasando yang biasa ia mainkan.
“ Harus penuh kelembutan ketika kau ingin
menghasilkan sasando yang baik, kelembutan itu bukan hanya milik manusia tapi
juga kelembutan itu milik sasando ini!” Tuturnya dengan penuh ketegasan.
Aku seolah terperangah oleh kelembutan dan
keterampilan opa Anto membuat kerangka sasando dari daun lontar ini.
“ Apa
yang membuat opa sangat mencintai sasando ini,?” tanyaku dengan penasaran
sambil memandang wajah keriputnya. Sontak raut wajahnya berubah, wajahnya yang
serius berubah menjadi wajah yang penuh dengan tatapan kosong. Lama ia berdiam,
tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya helaan napas yang ia
hembuskan. Dalam dan panjang.
********
Aku terperangah pada sosok tua ini. “Ada apa
dengan perkataanku tadi, haruskah aku mengulangi pertanyaanku tadi”, Bisiku
dalam hati. Hendak bibir ku mengucap
ulang kata-kataku tadi, tapi ia lebih dahulu berkata, “ Kau tak perlu mengulang
kata-katamu anak, opa hanya terjebak dengan masa lalu opa“. Dia seolah-olah
membaca pikiran ku. “ Memangnya ada apa
dengan masa lalu opa?’’ tanyaku. Sontak
ia pun berhenti untuk menganyam kerangka sasando itu. Ia mencoba memanggil
kembali memori yang ada dalam otaknya,
ia menutup matanya sambil mengkerutkan dahinya.
“Ah, anak Sasando yang biasa aku mainkan itu,
keindahan nada yang kau dengarkan itu,
keharmonisan yang kau rasakan, ketenangan yang kau dapatkan ketika kau mendengarkan
petikan sasando adalah hasil cinta yang
aku dapatkan dari Regina”. Terangnya sambil berangan-angan mengingat kenangan
yang ada dalam memori otaknya. Aku bingung, Siapa gerangan Regina yang disebutkan lelaki
tua ini. Sebelum aku berpikir lebih jauh, akupun bertanya siapa sosok Regina di
mata Opa Anto. “ Siapa Regina itu opa?”.
“ Dia adalah wanita dan cinta. Ketika aku muda seperti kau anaku, aku
bertemu seorang gadis cantik, ia datang dengan sejuta keindahan dan
keistimewaan yang tak pernah aku jumpai sebelumnya dengan gadis-gadis di desa
ini. Jujur pertama kali aku bahkan
takut menatap wajahnya yang cantik, aku takut bukan karena ia seperti hantu,
bukan karena aku takut ia seperti monster tapi aku takut apakah aku layak
memandang wajah cantiknya itu. Banyak yang mengaguminya, tapi aku merasa aku
satu-satunya lelaki yang paling beruntung mendapat cintanya. Rambutnya panjang dan keriting terurai lembut, matanya bulat, bening dan indah, seindah
tenunan Rote. Hidungnya mancung setinggi bukit Teri ini, dan suaranya seperti bunyi petikan pada senar
sasando ini”. Opa Anto seolah memilki potret masa lalu yang indah dan ia coba
lukiskan masa lalu itu sedetail mingkin. Di pondok tua itu aku menyaksikan
kisah seorang maestro Sasando yang membuat ia tetap hidup dengan masa lalunya
yang tersimpan rapi di lubuk hatinya yang paling dalam..
“Bermain sasando pada jaman dulu merupakan
sesuatu yang berharga bagi anak muda
seusia kau. Kau bisa mendapatkan hati seorang wanita, kau bisa merasakan keharmonisan
antara cinta dan keindahan’’. Tuturnya
sambil menarik napas mencoba menerawang
masa lalunya.
‘’ Tak
ada satupun dari keluarga ku yang tau dan pandai bermain sasando. Aku pun
terlahir sebagai orang yang hanya menikmati indahnya alunan bunyi sasando, hanya mendengar saja cukup menyenangkan
hatiku. Tapi ketika pertama kali aku bertemu Regina semuanya berubah. Aku
merasakan keindahan dan keistimewaan yang luar biasa dalam dirinya. Hingga aku ingin mengungkapkan keindahan dan
keistimewaan Regina. Dan aku sadar bahwa
melalui Sasando ini, nada dan bunyi yang akan aku mainkan bisa mengungkapkan
keindahan dan keistmewaan Regina, dan aku
berjanji padanya bahwa suatu saat jika aku bisa memainkan Sasando ini , aku akan
memainkan sebuah lagu untuknya’’.
Suasana hening di pondok itu seolah-olah
membawa aku terbang ke masa lalu opa Anto.
“ Aku
pun mulai berlatih bermain sasando, tak seorang pun yang mengajariku, tak
ada juga yang menuntunku, rasa cintaku pada Regina lah yang memuat aku
terus berlatih, Pernah anak, aku putus asa. Ah aku menyerah! Tapi ketika aku
teringat akan Regina aku bangkit kembali, anak! Aku teringat akan janjiku padanya, Ia tahu akan niat dan ambisiku, ia terus medukung
aku.
Aku belajar mendengarkan dan merasakan denyut jantungku dan aku bisa
menghasilkan sebuah nada dari senar ini, kemudian aku belajar mendengarkan dan
merasakan suara alam dan aku berhasil menghasilkan alunan irama, hingga
aku belajar untuk mendengarkan suara hati dan merasakan getaran cinta ku pada Regina , aku
berhasil menjadi seorang pemain Sasando”.
Ia diam sejenak, matanya
nampak berkaca-kaca sepertinya momen itu sangat berharga baginya.
“Opa berhasil memainkan lagu untuknya?”.
Tanyaku sambil tersenyum membayangkan bagaimana romantisnya suasana yang akan
diceritakan oleh opa Anto nanti.
“Hmm, sudah aku persiapkan semuanya, aku
berjanji bertemu dia di bukit Teri ini ketika matahari hendak tenggelam. Aku
sendiri yang membuat kerangka hingga
menentukan nada pada tiap senar-senar Sasando
ini, aku bekerja dari hatiku sehingga
aku membalut semuanya dengan kasih sayang dan rasa cinta.
Aku yakin dengan segenap jiwaku, Regina akan menepati
janjinya untuk menjumpaiku. Sekali lagi kucoba meyakinkan hatiku. Ku coba
memetik seutas tali senar pada sasando ini, sontak aku teringat akan senyum Reina,
nada pada senar ini mengingatkanku akan manisnya senyumnya. Senyum yang dihiasi
lesungan pipi dan keikhlasan Regina untuk tersenyum. Ada keindahan yang keluar dari dalam
senyumnya.
Tiap hari
aku datang ke tempat itu untuk menemui dia dan untuk kesekian kalinya, ia tak
datang menemuiku. Regina,
aku rindu padamu, ingin hatiku ku memainkan sasando ini untukmu tapi percuma
kau tak bisa merasakan indahnya petikan yang aku ciptakan, ingin ku menyanyikan
lagu cinta untukmu tapi percuma kau tak mungkin mendengarkan.
Hari berlalu
dan musim berlalu sayang seribu sayang, ia tak datang menemuiku”.
“Kemana ia pergi opa?”, Tanyaku sambil
bertopang dagu, mecoba menggali lebih dalam cerita opa Anto.
“ Ia bukan berasal dari tempat ini. Ia
kembali ke tempat dimana ia berasal”.
“ Dimana tempat itu opa?, mungkin kita bisa
mencari dia, mungkin pula kau akan bertemu dengan dia dan kau bisa memainkan lagu ini untuknya, benarkan
opa?”. Aku berusaha meyakinkan dia untuk menemukan kembali Regina-nya yang
telah pergi.
“Ah percuma anak jika kau mencari dia, kau
tak akan menemukan dia”. Ia seolah-olah telah merelakan kepergian Regina yang
pernah ia cintai.
“ Apakah Regina sudah meninggal”? Tanyaku penasaran.
“ Dia tak meninggal dunia, anaku. Dia ada
disini bersama angin, bersama detak jantungku dan dia akan mendengarkan aku
ketika aku memainkan Sasando ini untuknya”.
Aku
heran bagaimana mungkin ia akan hadir disini, sedangkan disini hanya kami berdua, apakah ia akan datang
dengan mesin waktu ketika opa Anto memainkan Sasando ini?
Matahari mulai meredupkan cahayanya, ku lihat
opa Anto mulai mengambil Sasandonya, dengan mata tertutup ia merasakan desiran
angin yang datang menyapanya. Ia mulai merapikan senarnya, meletakan jarinya
diantara senar-senar itu, jarinya menari-nari diatas senar itu dan ia bernyanyi ;
“ Ku
temukan cintaku di tanah ini
Tanah yang damai penuh dengan cinta
Sekuntum mawar ku petik, ku semak dihati
Dan aku senandungkan kidung kerinduanku
Na…he…ya…”
Aku merasakan kehadiran Regina melalui alunan
nada yang dimainkan opa Anto, aku merasakan ia berada di depanku. Benar kata
opa Anto, ia cantik dan indah, ia mendekat dan makin mendekat, ia kemudian
berbisik lembut di telingaku. “ Aku adalah kecantikan dan keindahan yang kau dengar dan kau rasakan dan aku adalah
cinta yang menuntun dia untuk menghasilkan irama yang indah dari Sasando ini”.
Malang,04/03/2014